cerita sebelumnya : Lupus - ihhh udah gede part 1
Karya : Hilman
GM 303.95.278
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jl. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270
Gambar sampul oleh Wedha
Ilustrasi dalam oleh Key Mangunsong
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia. Pustaka Utama,
anggota IKAPI, Jakarta, Maret 1995
Dicetak oleh
Percetakan PT Gramedia
Jakarta
Scan oleh syauqy_arr@yahoo.co.id - OCR oleh Raynold
Diedit kembali dalam bentuk eBook format epub oleh Klobot, Juni 2011
Scanned book (sbook) ini hanya untuk pelestarian buku dari kemusnahan
dan membiasakan anak-anak kita membaca buku melalui komputer.
DILARANG MENGKOMERSILKAN
atau hidup anda mengalami ketidakbahagiaan.
Setelah lelah main pawai-pawaian, Lupus gak langsung pulang. Tapi malah
terus ke kantor majalah tempat ia magang jadi wartawan freelance. Dia
mau nunjukin sama orang-orang di sana, para wartawan dan satpam, kalo
dia itu sekarang udah gede. Udah lulus SMA. Jadinya awas aja kalo masih
pada minta dijajanin sembarangan lagi.
Ya, selama ini
kalo Lupus nongol di kantor HAI, orang-orang di sana, termasuk red
pel-redaktur pelaksana-dan satpam, langsung pada minta ditraktir.
Mending kalo basa-basi dulu. Biasanya mereka langsung main pesen makanan
aja. Ada yang mesen siomai, mie pangsit, rujak buah atau sate. Dan
dengan tanpa dosa, mereka menunjuk Lupus sebagai penyumbang dana.
"Alaaa, kamu kan masih kecil, Pus. Biaya hidup kamu belon seberapa.
Sekali-sekali ntraktir begini kan gak apa-apa," komentar Mas Iwan.
"Iya, Pus. Honor dari tulisanmu paling-paling kan gak abis buat jajan
di sekolahan. Di sanakan jajannya murah-murah. Mending kamu jajan di
sini. Sekali jajan, honor tulisanmu langsung habis. Kan praktis, tuh.
Gak cape-cape mikir mau nabung, mau beli ini-itu," Mbak Retno ikut
menimpali.
Tapi hari ini gak ada lagi traktir-traktiran
Dulu-dulu bolehlah. Karena Lupus masih kecil, masih belum lulus SMA. Sekarang? Hohoho, Lupus sudah besaar
Waktu melewati warung-warung tegal dan warung tenda di depan kantor
majalah, Lupus sempat jadi buah bibir. Dia jadi bahan omongan
orang-orang sewarung lantaran dandanannya yang kelewat ajaib.
"Iya, pasti itu orang planet. Aye yakin banget, deh," tukas Mpok Ijah tukang gado-gado yang asbet. Asli Betawi.
"Ah, masa sih orang planet keren begitu? Pasti orang gila" timpal seorang pengunjung warung.
Lupus sebenernya gak enak juga diomongin begitu. Tapi demi pengakuan,
Lupus emang sengaja gak ganti baju. Dia kan mau ngasih tau sama
orang-orang se-majalah kalo dia itu lulus. Nah, baju yang penuh coretan
tanda tangan ini tentu jadi barang bukti yang otentik. Juga rambut
warna-warni yang disemprot pylox. Sayang, orang sewarung itu gak tau
misi yang sedang Lupus emban.
"Aye yakin deh, pasti
dia orang planet. Sebab aye pernah liat di komik anak aye kalo orang
planet tuh rambutnya bekelir begitu. Eh, Jo, mending lo ikutin tu orang.
Lo liat di mana dia parkirin piring terbangnya." Orang-orang sewarung
pada berjubel-jubel mengintip dari balik jendela yang kordennya lusuh.
Ya, demi pengakuan mau dibilang orang planet, orang gila, terserah
Lupus terus mengayunkan kakinya dengan mantap. Meski di belakang
puluhan mata dan mulut terheran-heran. Juga dua anak kecil yang
dipapasinya.
"Kak, lulus, ya?"
Lupus mengangguk. "Emangnya kenapa kalo saya lulus?"
"Gini, Kak, saya kan udah kelas enam. Dikit lagi saya juga lulus. Saya
pengen deh baju saya ditanda-tangan seperti Kakak. Tapi temen-temen saya
belum bisa bikin tanda-tangan, Kak. Bisa nggak, Kak, minta tolong sama
temen-temen Kakak untuk menandatangani baju saya nanti kalo saya lulus?"
Lupus bengong.
"Bisa kan, Kak?"
"B-bisa."
Anak kecil itu pun tersenyum senang. Sambil meninggalkan Lupus yang terbengong-bengong, kedua anak kecil itu bersalaman.
Sedetik kemudian Lupus ingat sama misinya untuk menunjukkan
ke-gede-annya. Segera ia menerobos pintu depan yang pinggirnya selalu
dijaga satpam.
"Halo, Mas Satpam," sapa Lupus pada satpam yang juga sering minta traktir Lupus.
"Hei, Lupus Wah, abis dari mana, nih? Ikut lomba lukis kontemporer, ya?"
"Saya bukan abis ikut lomba lukis, Mas. Saya sekarang sudah lulus. Ini
baju penuh tanda-tangan temen-temen saya. Buat kenang-kenangan."
"Lulus? Wah, hebat. Saya boleh ikut nanda-tangan, dong."
"Wah, gak boleh, Mas. Ini khusus temen-temen saya aja."
"Lho, apa saya bukan temen kamu, Pus? Saya kan orang yang sering kamu
traktir. Apa ini belum belum membuktikan kalo saya ini temen kamu?"
"Tapi...”
"Ah, sudahlah, Pus. Masa gak boleh, sih? Jangan pilih kasih begitu, dong. Kebetulan saya juga punya spidol nih"
"Eh, ja.....
"Di mana tanda-tangannya?"
"Eh, kecil aja, ya?"
"Jangan khawatir, Pus. Di sini aja, ya?"
Mas Satpam siap-siap membubuhkan tanda-tangannya. Ia mencari-cari
tempat yang agak kosong. Sudah tak ada. Tapi Mas Satpam bukan tipe orang
yang putus asa. Dengan yakinnya dia menandatangani baju Lupus pas di
atas tanda tangan Poppi, yang oleh Lupus amat dijaga agar jangan
tercampur dengan tanda-tangan lain. Sekarang? Ah-sialan
"Sudah, Pus. Dulu waktu saya lulus gak ada coret-coretan model begini.
Apalagi saya sekolah di kampung yang anak-anaknya paling banyak punya
baju putih dua biji. Itu juga dipakai selama tiga tahun, dan kalo tamat
langsung diwariskan ke adiknya. Jadi kalo dicorat-coret seperti ini kan
gak bisa dipake sekolah lagi. Makanya sekarang saya puas bisa ikut
menandatangani baju kamu, Pus. Makasih banyak, ya? O ya, tadi sebelum
kamu datang, saya udah pesen mie pangsit. Ntar tolong bayarin ya, Pus?
Kamu kan udah gede....”
Udah gede? Lupus hampir
berteriak girang, karena pengakuannya mulai diakui. Selama ini, meski
udah 17 tahun, Lupus masih sering dianggap anak bawang di kantor majalah
situ. Itu lantaran kelakuannya yang tetap minus.
"Tapi, Mas Satpam, saya kan udah gede, kenapa masih disuruh bayarin?"
"Lho, justru karena udah gede kamu jadi bisa ngebedain mana yang baik
dan mana yang buruk. Nah, mentraktir orang kan berarti membuat orang
lain senang. Itu perbuatan baik....”
Dasar kadal Lupus memaki dalam hati. Dan langsung meninggalkan Mas satpam yang tersenyum kesenangan.
Lupus melangkah masuk ke gedung majalah. Di ruang bawah, Lupus kepergok
resepsionis yang kece. Lupus segera memberi senyum, seperti biasanya.
Tapi si resepsionis bukannya ngebales senyum Lupus, malah cekikikan. Dia
geli banget ngeliat tampang Lupus yang amburadul. Apalagi rambutnya
yang dicat warna-warni mulai luntur kena keringat. Jadi jidat dan pipi
Lupus ikut berwarna juga.
"Mau ikutan topeng monyet di mana, Pus?" goda resepsionis.
Lupus ketawa.
"Eh, emangnya saya mirip topeng monyet, Ta?"
Si resepsionis cekikikan lagi. Tapi itu lebih baik daripada minta traktir, kan? Lupus pun buru-buru memencet tombol lift.
"Pus, kok buru-buru sih?" ujar resepsionis.
"Mau ikutan tanda-tangan boleh, kan?"
"Enggak"
"Kalo gak boleh ya gak apa-apa. Tapi jangan lupa bayarin siomai ya, Pus? Kamu kan udah lulus sekolah....”
Lupus tercekat. Dia mau protes, tapi pintu lift keburu terbuka. Sial
Sampai di lantai 5, Mas Dharmawan, Mas Kibro, dan para wartawan dan
redaktur kontan bengong ngeliat penampilan Lupus yang rada lain.
"Kenapa lo, Pus?" tanya Mas Agus yang lagi menurunkan berita lomba balap karung.
"Saya lulus, Mas," Lupus bangga.
"Wah, traktir, dong"
"Eh, justru..."
Telat. Mas Agus keburu teriak, "Hoii, Lupus lulus Dan dia mau traktir kita-kita"
Para wartawan dan redaktur yang tadinya keliatan lemes itu berubah jadi
beringas. Langsung berhamburan keluar untuk memesan makanan di kantin.
Tinggal Lupus yang bengong sendiri.
Untung Mas Iwan yang red-pel itu gak ikutan mabur pesen makanan. "Ya, saya duitnya aja ya, Pus?" tukas Mas Iwan kalem.
Sialan. Dikira gak mau
"Pus, boleh aja kamu lulus di sekolah. Tapi di sini status kamu masih
tetap magang. Belum lulus jadi pembantu khusus. Kecuali kamu bisa bikin
tulisan dahsyat buat majalah kita. Gimana, mau? Kamu kan udah gede,"
pancing Mas Iwan.
Lupus merasa ditantang.
"Boleh, Mas."
Lupus nerima tawaran itu. Dan ia langsung spontan mengajukan satu tema tulisan yang tiba-tiba terlintas dalam benaknya.
"Tulisan tentang apa, Pus?" tanya Mas RedPel lagi.
"Anu, Mas. Tentang remaja cewek yang pulang pagi."
"Pulang pagi? Apa istimewanya?"
"Gini. Banyak remaja sekarang yang hobi banget ke diskotek. Pulangnya
lewat jam dua pagi. Padahal sebetulnya dia itu belum diizinkan
orangtuanya untuk ke disko. Tapi mereka nyolong-nyolong waktu pergi.
Nah, setelah jojing sepuasnya, giliran mereka kelimpungan gimana cara
pulang ke rumah tanpa ketauan atau dimarahi orangtua. Dari sini kan
banyak yang bisa kita gali, Mas. Mereka kadang punya akal kadal untuk
nipu orangtuanya. Coba itu, sampai segitu dibela-belain"
Mas Iwan mikir sejenak.
"Gimana, Mas?" tanya Lupus.
"Apanya?"
"Itu. Tema tulisan yang saya ajukan."
Mas Iwan memandang ke arah seorang cowok yang kayaknya baru Lupus
lihat. Yang ternyata dari tadi duduk di meja kosong di balik lemari
buku. "Menurut kamu gimana, Rez? O ya, Pus. Kenalkan, ini Reza, calon
wartawan kita juga. Dia baru datang dari Australia. Lagi magang di sini.
"Menurut kamu gimana, Rez?"
"Menarik," ujar Reza singkat. Ada nada tak acuh.
"Oke. Kamu garap aja, Pus. Kamu langsung aja terjun ke dunia mereka.
Ikut ngerasain langsung. Kalo bagus, bisa kita turunkan sebagai laporan
utama. Tapi, apa kamu bisa bikin tulisan kayak gitu?"
"Bisa, Mas."
"Yang bener?"
"Bener."
"Traktir dulu, dong."
"Katanya Mas mau duitnya aja."
"0, iya. Saya lupa, Pus."
"Saya yakin bisa, Mas."
"Oke, kapan nyerahinnya?"
"Wah, jangan pada waktu dekat ini. Saya mau refreshing dulu abis ujian.
Masih stres. Mau liburan. Setelah itu, saya juga harus ngedaptar masuk
kuliah."
"Ooo, kamu mau kuliah juga?"
"Iya, dong."
"Jadi kapan?"
"Ntar, kalo udah dapet sekolah."
"Kalo gak dapet sekolah?"
"Pasti dapet."
"Dan tulisan itu pasti bisa?"
"Pasti. "
"Oke, saya tunggu."
Sementara itu para wartawan dan redaktur yang abis berpesta-pora muncul sambil teriak-teriak terima kasih ke Lupus.
"Terima kasih, ya, Pus. Moga-moga aja kamu sering-sering lulus, gitu."
Hihihi...
0 komentar:
Posting Komentar
Tolong jangan memberikan komentar yang menusuk di hati lalu tembus di jantung admin