Idihhhh Udah Gede..!! part 1

| Jumat, 07 November 2014
Share on :
Karya : Hilman

GM 303.95.278

Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama,

Jl. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270

Gambar sampul oleh Wedha

Ilustrasi dalam oleh Key Mangunsong

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit PT Gramedia. Pustaka Utama,

anggota IKAPI, Jakarta, Maret 1995

Dicetak oleh

Percetakan PT Gramedia

Jakarta

Scan oleh syauqy_arr@yahoo.co.id - OCR oleh Raynold

Diedit kembali dalam bentuk eBook format epub oleh Klobot, Juni 2011

Scanned book (sbook) ini hanya untuk pelestarian buku dari kemusnahan dan membiasakan anak-anak kita membaca buku melalui komputer.

DILARANG MENGKOMERSILKAN

atau hidup anda mengalami ketidakbahagiaan.


"Yihaaa"



Hampir berbarengan suara itu meledak di pelataran SMA Merah Putih. Pagi yang dingin, tapi sekejap berubah semarak oleh sorak-sorai anak-anak kelas 3 yang berkerumun di papan pengumuman lulus ujian anak-anak SMA Merah Putih. Sekumpulan burung gereja yang sejak lama membuat sarang di atas cerobong air, berhamburan terbang saking kagetnya. Seiring lonjakan gembira anak-anak yang sudah memastikan diri lulus.



Ya, sepanjang pagi tadi mereka udah tegang banget nungguin papan keramat itu dibawa keluar. Mereka bergerombol, ngerumpi, deg-degan, dorong-dorongan, jambak-jambakan, senggol-senggolan, pokoknya kanibal banget Itu karena, konon tersebar isu bahwa tahun ini murid tidak lulus seratus persen. Nah, jadi wajar dong kalo mereka tegaang banget. Makanya setelah tau bahwa ternyata mereka bukan termasuk yang gak lulus, mereka girang setengah mati. Melonjak-lonjak mengekspresikan perasaan mereka yang sukar dilukiskan.



Lupus, begitu tau namanya tertera sebagai murid yang lulus, kontan mengepalkan kedua tangannya di udara, menari-nari kegirangan sambil berlari keliling lapangan. Disusul Anto, Gito, Aji, Ruri, lalu temen-temen lainnya. Gak ketinggalan si artis kapiran, Fifi Alone.



Lupus malah sempet buka baju segala, dan melemparkan ke udara. Sebelum jatuh, Gito yang tangkas udah keburu menjambretnya. Lalu membawa lari keliling lapangan. Tinggal Lupus yang kelabakan. Mokal bodinya yang ceking mekingking jadi tontonan orang. Ia pun setengah mati mengejar-ngejar Gito.



"Hei, Dodol, kembaliin baju gue" teriak Lupus.



Gito malah ketawa cekikikan. Kemudian melontarkan baju itu ke arah Anto. Anto menyambutnya, sebelum akhirnya membawa lari baju itu ke sudut lapangan.



Lupus makin keki.



"Ayo kejar, Pus" ejek Anto dari kejauhan.



"Hei, kembaliin, dong. Pada ngocol nih" Lupus menjerit setengah putus asa.



Meta, Ita, Utari yang sempet ngeliat Lupus ber'bugil-ria' menjerit tertahan sambil menutup muka, "Aiiih, syereeeem" Tapi matanya pada mengintip dari sela-sela jari mereka.



"Bodi apa papan penggilesan, tuh"



"Ih, tega lo. Masa segitu kerennya dibilang papan penggilesan? Bukan dong, itu kan gergaji Hihihi...”



"Badan kok selembar?"



"Yeee, bolehnya pada sirik Biar kurus tapi kan seksi" tangkis Lupus, sambil kembali mengejar Anto. Diem-diem dia mokal berat telanjang dada begitu.



Sementara Anto udah mengoper baju ke arah Aji, dan Aji langsung menyembunyikannya di semak-semak.



"Hei, mo' dikemanain baju gue?" tanya Lupus sekonyong-konyong, setelah sadar bahwa bajunya udah gak dipegang Anto lagi.



"Cari aja, ntar juga ketemu."



"Sompret kalian" Lupus terus memaki-maki. Anak-anak malah makin ketawa riang ngeliat tingkah Lupus yang jadi lucu. Bingung, kayak orang kebakaran jenggot. Sibuk sendiri nyariin bajunya di antara semak-semak. Untung ketemu. Tapi pas dipake, mendadak terasa sesuatu yang menggigit-gigit sekujur badannya, dan...



"Yaaaahh" Lupus menjerit kesakitan sambil buru-buru melepas kembali bajunya. Ya, ternyata banyak semut-semut nakal menempel di bajunya.



Lupus makin misuh-misuh sama anak-anak yang tertawa terpingkal-pingkal.





•••





Tapi suasana ceria itu tentu gak terganggu.

hanya karena peristiwa konyol tadi. Buktinya beberapa saat kemudian, Lupus sudah kembali bergabung dengan anak-anak lainnya yang juga lulus. Saling menandatangani baju. Ada yang pake spidol, ada yang pake pylox, dan ada juga yang pake lipstick. Yang pake lipstick, siapa lagi kalo bukan artis kita Fifi Alone? Tapi, emangnya Fifi lulus? Nah, dia emang patut dicurigai kalo lulus. Anak yang punya penyakit aphasia alias salah ngomong melulu itu, nilai-nilai ujiannya kan banyak yang amblas?



Wah-tapi gak tau, deh. Kita gak bisa berkomentar banyak mengenai hal ini. Soalnya, ada yang bilang Fifi Alone itu nyogok biar bisa lulus. Dia kan orang kaya. Bapaknya, denger-denger, termasuk konglomerat. Jadi gak ada yang sulit buat dia.



"Fifi, sini rambut kamu kita cat biar kayak orang bule," ujar Lupus sambil langsung menyemprotkan pylox merahnya ke kepala Fifi, srrrttttt



"AAAW" Fifi Alone menjerit tertahan. Tapi sedetik kemudian, sebagian anak lainnya juga menyemprot dengan warna-warna centil lainnya. Jadilah warna rambut Fifi Alone berwarna-warni centil.



Lalu sekejap kemudian, semua anak pun saling menyemprotkan pylox ke rambut dan baju teman-temannya. Semua kena, semua pasrah. Rasanya begitu bebas, lepas, dari beban kurikulum yang selama ini mengimpit. Beban aturan-aturan sekolah yang menjemukan; gak boleh ngeluarin baju seragam, gak boleh bawa makanan ke dalam kelas, gak boleh melompat pagar, gak boleh bermain voli di dalam kelas, gak boleh tidur saat guru menerangkan, gak boleh nyontek saat ulangan, gak boleh mengganti baju olahraga di depan kelas, gak boleh mencorat-coret dinding, gak boleh masuk ke kamar kecil cewek bagi cowok-cowoknya, gak boleh menyanyikan lagu Guns n' Roses saat upacara bendera, dan seabrek peraturan lainnya. Makanya hari ini, hari hancurnya belenggu itu, dirayakan semeriah mungkin oleh anak-anak.



Tapi, di mana Boim?



Anak itu tak nampak ikut bersenang-senang dengan Lupus dan kawan-kawannya. Apa dia gak lulus?



Ya, wajar juga sih kalo tu  'anak' kagak lulus. Waktu ujian aja, dia yang paling sibuk banget nyari bocoran dan contekan dari temen-temennya. Pernah sekali dikerjain sama Lupus. Pas ujian fisika, baru sepuluh menit berlangsung, wajah Boim sudah nampak pasrah. Ia bersuit-suit memanggil Lupus yang duduk gak jauh dari dia. "Pus, tulisin gue nomor satu, dong" desah Boim.



"Berapa? Nomor satu?"



Boim mengangguk penuh harap-harap cemas.



"0, itu sih gampang," tulis Lupus sambil menulis sesuatu di secarik kertas. Gak berapa lama, kertas itu langsung ditimpukkan ke arah Boim. Tepat kena idungnya. Boim serta-merta memungut, dan membuka dengan perlahan. Tapi betapa bengongnya ia ketika tau yang tertulis di situ cuma angka 'satu' aja.



"Pus, kok yang ada cuma tulisan angka 'satu' aja? Mana jawaban soalnya?" Boim protes.



"Lho, elo kan tadi cuma minta ditulisin nomor 'satu' aja. Itu apa bukan angka 'satu' yang gue tulis?"



Boim bengong.



Makanya anak-anak curiga kalo Boim itu gak lulus.



Tapi, apa iya?



Ya, kita liat aja. Ternyata sejak pagi tadi, si Boim udah menghadap Ibu Biologi yang jadi wali kelasnya. Ia memang dipanggil, karena ada tanda-tanda gak lulus.



Boim jelas panik. Dengan akal kadalnya, ia berusaha meyakinkan Ibu Biologi, "Wah, gawat deh, Bu, kalo saya sampe gak lulus. Gawat. Ngeri. Syerem. Seru. Tegang."



"Apanya yang gawat?" tanya Ibu Biologi acuh tak acuh sambil membenahi kertas-kertas ijazah yang baru ia periksa.



"Anu, Bu. Kalo saya gak lulus, orangtua saya bisa setep. Soalnya sayalah satu-satunya yang diharapkan bisa gak mengikuti jejak Babe yang jadi tukang ketupat, Bu. Mereka ngarepin betul saya jadi dokter, Bu. Lha, gimana saya bisa jadi dokter kalo lulus SMA aja enggak? Tolong, deh, Bu. Mau kan, Bu? Mau deh...," bujuk Boim.



Ibu Biologi jadi kesel juga digerundelin Boim kayak gitu. "Kamu ini apa-apaan, sih. Makanya kalo di sekolah itu belajar yang rajin. Jangan main melulu" bentak Ibu Biologi hilang kesabarannya.



"Ya, Ibu. Masa ngelulusin saya aja gak mau. Lulusin, deh" Boim pantang'menyerah.



"Lulus dengkulmu" akhirnya ia gak tahan juga menghadapi anak gokil yang satu ini. "Sana urus sama Pak Jumadi Ibu ada perlu dengan Bapak Kepala Sekolah...." Serta-merta Ibu Biologi meninggalkan Boim.



Tinggal Boim melongo sendirian. Tapi dasar tu' anak muka badak, ia pun melanjutkan serangan ke Pak Jumadi, guru matematik yang ngomongnya cempreng banget. Mungkin mau niru-niru pengajar matematika yang di tipi.



"Halo, Pak Jumadi, kawan baik saya. Lagi sibuk, ya? Kok nampaknya serius sekali," sapa Boim memasang muka ramah.



"Udah, langsung aja bilang apa maumu. Tak usah merayu," ketus jawaban Pak Jumadi.



"Aduh, Bapak jangan galak begitu, dong. Saya cuma mau tanya, apa saya lulus?"



"Kamu Boim, kan?"



"Iya. Gimana? Lulus?"



"Kamu gak usah khawatir...," suara Pak Jumadi me1embut.



"Jadi, maksud Bapak saya lulus?" Mata Boim berbinar. "Cihuuui"



"Lulus congormu Maksud Bapak, selama guru-guru di sini belon pada gila, pokoknya kamu jangan khawatir lulus, deh"



"Aduh, jelasnya gimana, Pak?"



"Lha, kamu sendiri kan tau guru-guru di sini belum pada gila......



"Jadi... saya..." Boim ragu-ragu ngomong.



"Nggak lulus" serobot Pak Jumadi.



"Aduh, Maaak, mati gue Mati saya, Pak Jumadi. Wah, Pak Jumadi tega bener. Masa saya gak lulus, sih? Kasihan saya dong, Pak. Lulusin saya, dong. Aduh, Bapak ini gimana, sih?" Boim jadi ribut bener.



"Tak bisa. Soalnya nilai kamu tak mendukung, sih"



"Tapi kalo saya gak lulus, Bapak tau apa yang bakal terjadi?"



"Lho, kenapa dipikirin amat? Itu bukan urusan saya, tho?"



"Wah, gawat dong kalo begitu...."



"Gawat buat situ, kan? Buat saya tidak."



Mendengar Pak Jumadi berkata begitu, Boim kontan menangis menggerung-gerung. Tinggal Pak Jumadi yang ganti kelimpungan menenangkan.



"Ada apa ini?" Ibu Biologi yang telah kembali dari kantor Kep-sek tergopoh-gopoh menghampiri.



"Ini, Bu, Boim kesurupan."



"Sudahlah, Boim. Ibu dan Bapak Kepala Sekolah sudah memutuskan, kamu lulus. Tapi lulus percobaan. Nanti kalo di perguruan tinggi kamu tetap malu-maluin, saya bakal tarik kamu ke SMA lagi," putus Ibu Biologi.



"Ha?" Boim menyeka air mata buayanya. "Jadi saya lulus?"



"Iya. Tapi katrolan."



"Cihuuuiii" Boim melonjak kegirangan. Lalu berlarian keluar. Berbaur dengan teman-temannya yang lain.



Sebuah semprotan pylox hitam mampir ke mukanya, langsung menyambut kehadiran Boim di lapangan.



Sang Kep-sek yang ikut memantau kegiatan anak-anak dari balik jendela kantornya bergumam sambil menggeleng-gelengkan kepala, "Seperti hancurnya tembok Berlin di Jerman"



"Betul, Pak. Tepatnya, sekolah kita lama-lama bakal ikut ancur juga" komentar Guru Kesenian yang ikut mendampingi Kep-sek.



Tiba-tiba terdengar suara sirene meraung-raung.



"Apa itu, Pak?" Kep-sek menatap Guru Kesenian. Guru Kesenian ganti menatap Kep-sek.



Mereka berdua saling tatap-menatap.



"Seperti suara mobil pemadam kebakaran"



"Apa yang terbakar?"



"Jangan-jangan sekolah kita"



"Mari kita keluar" Kep-sek panik berlarian keluar. Ia hanya sempat menyelamatkan naskah pidatonya yang baru disiapkan di meja tugas.



Pas sampe di luar, mereka berdua bengong melihat mobil pemadam kebakaran itu parkir di halaman sekolah, sibuk mengguyur anak-anak yang kegirangan. Ya, ternyata anak-anak itulah yang menyewa mobil pemadam kebakaran buat memeriahkan suasana.



Tapi, satu lagi teman Lupus yang dari tadi belum kelihatan. Gusur. Ya, di mana anak itu?



Asal kamu tau aja, ternyata seniman sableng itu emang bener-bener sableng. Waktu pengumuman ujian ini berlangsung, dia malah asyik ikut mancing sama engkongnya di pantai. Cuek pada situasi. Pasalnya tadi pagi-pagi sekali dia udah dibangunin engkongnya untuk pergi mancing. Dan karena dua keturunan itu emang hobi banget mancing, ya mau aja.



Dan dia gak tau kalo ternyata dialah satu-satunya siswa SMA Merah Putih yang gak lulus. Abis gimana mau lulus, waktu yang lain pada ujian aja dia malah ikut engkongnya pulang kampung ke Solo. Lengkaplah sudah kesalahannya.



Eh, tapi jangan mikirin Gusur dulu, kita liat aja Kep-sek yang dari tadi sibuk menenangkan murid-muridnya yang masih dalam luapan emosi gembira. "Perhatian Perhatian" Kep-sek bersuara lewat mimbar melalui mikropon.



Anak-anak tetap berisik. Lupus malah lagi sibuk menandatangani baju anak-anak cewek yang berdiri berjejer sambil bergandengan tangan.



"Hoi Perhatian Perhatian" Kep-sek berteriak lagi.



Anak-anak menoleh. "Eh, ngapain tuh Kep-sek?"



"Mau pidato, kali. Kita dengerin, yuk. Kasihan. Ini kan pidato terakhir dari dia yang bakal kita denger."



Ya, Kep-sek emang hobi banget pidato. Dan dan tadi pagi dia udah ngebela-belain bikin konsep yang ia tulis di secarik kertas.



Anak-anak mulai merubung, hendak mendengar.



Kep-sek tersenyum puas memandang mereka. Dan langsung membacakan pidatonya



"Terus terang, terus gelap...



"Bapak ucapkan selamat dengan tulus kepada yang lulus. Semoga jalan ke depan makin mulus, dan kalian dapat nilai plus.



"Dan Bapak sih setuju-setuju saja kalian merayakan kegembiraan seperti ini. Ini memang sudah menjadi tradisi di setiap tahun. Tapi diharap setiap murid harus kontrol diri. Karena ada perintah dari PDK bahwa sebetulnya kalian tak boleh merayakan aksi gila-gilaan seperti ini, supaya tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan.



"Karena terus-terang, sebetulnya kalian harus bersedih lepas dari SMA. Karena kata orang, masa SMA adalah masa yang paling indah. Karena jalan yang bakal kalian lalui setelah lulus SMA akan semakin sulit dan berbelit serta bisa bikin mata bintit karena hobinya ngintip.



"Banyak lulusan SMA yang tak tau harus meneruskan ke mana. Mau ke Perguruan Tinggi Negeri, tes masuk bersaing ketat. Mau ke Perguruan Tinggi Swasta, biayanya terlalu mencekik. Mau langsung kerja, zaman sekarang dengan modal ijazah SMA, apa yang bisa diharapkan?



"Bukan. Bukannya Bapak mau mengurangi rasa gembira kalian dengan membeberkan fakta ini. Hanya perlu diingat bahwa kalian justru baru mulai masuk ke dunia yang sesungguhnya. yang.....



Dor Dor Dor



Tiba-tiba keheningan dipecahkan oleh suara petasan yang disulut oleh anak-anak A3. Semua kaget, terutama Kep-sek. Dan akhirnya suasana kembali rame. Murid-murid seperti tersadar kembali, ngapain sih dengerin pidato di saat hura-hura begini?



"Ah, pidatonya gak seru. Kita konvoi keliling Jakarta aja, yuk?" ajak Gito. Anak-anak lain pun kontan setuju. Mereka berlarian ke mobil-mobil yang emang udah disiapkan untuk konvoi.



"Hoii, pada mau ke mana? Pidato saya belum selesai. Tinggal beberapa bab lagi" teriakan Kep-sek tak digubris.



Akhirnya dengan bak terbuka dan CJ-7 yang kapnya juga dibuka, mereka mulai konvoi keliling kota dengan dandanan ala punk.



Cewek-cewek ikut di mobil sedan yang nguntit di belakang. Wah, seru. Setiap ketemu anak-anak dari sekolah lain, mereka saling berteriak dan ber-toast.



"HOOII, SELAMAT LULUS, YA?"

 

0 komentar:

Posting Komentar

Tolong jangan memberikan komentar yang menusuk di hati lalu tembus di jantung admin

Next Prev
▲Top▲