Karya : Hilman
GM 303.95.278
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jl. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270
Gambar sampul oleh Wedha
Ilustrasi dalam oleh Key Mangunsong
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia. Pustaka Utama,
anggota IKAPI, Jakarta, Maret 1995
Dicetak oleh
Percetakan PT Gramedia
Jakarta
Scan oleh syauqy_arr@yahoo.co.id - OCR oleh Raynold
Diedit kembali dalam bentuk eBook format epub oleh Klobot, Juni 2011
Scanned book (sbook) ini hanya untuk pelestarian buku dari kemusnahan
dan membiasakan anak-anak kita membaca buku melalui komputer.
DILARANG MENGKOMERSILKAN
atau hidup anda mengalami ketidakbahagiaan.
"Yihaaa"
Hampir berbarengan suara itu meledak di
pelataran SMA Merah Putih. Pagi yang dingin, tapi sekejap berubah
semarak oleh sorak-sorai anak-anak kelas 3 yang berkerumun di papan
pengumuman lulus ujian anak-anak SMA Merah Putih. Sekumpulan burung
gereja yang sejak lama membuat sarang di atas cerobong air, berhamburan
terbang saking kagetnya. Seiring lonjakan gembira anak-anak yang sudah
memastikan diri lulus.
Ya, sepanjang pagi tadi mereka
udah tegang banget nungguin papan keramat itu dibawa keluar. Mereka
bergerombol, ngerumpi, deg-degan, dorong-dorongan, jambak-jambakan,
senggol-senggolan, pokoknya kanibal banget Itu karena, konon tersebar
isu bahwa tahun ini murid tidak lulus seratus persen. Nah, jadi wajar
dong kalo mereka tegaang banget. Makanya setelah tau bahwa ternyata
mereka bukan termasuk yang gak lulus, mereka girang setengah mati.
Melonjak-lonjak mengekspresikan perasaan mereka yang sukar dilukiskan.
Lupus, begitu tau namanya tertera sebagai murid yang lulus, kontan
mengepalkan kedua tangannya di udara, menari-nari kegirangan sambil
berlari keliling lapangan. Disusul Anto, Gito, Aji, Ruri, lalu
temen-temen lainnya. Gak ketinggalan si artis kapiran, Fifi Alone.
Lupus malah sempet buka baju segala, dan melemparkan ke udara. Sebelum
jatuh, Gito yang tangkas udah keburu menjambretnya. Lalu membawa lari
keliling lapangan. Tinggal Lupus yang kelabakan. Mokal bodinya yang
ceking mekingking jadi tontonan orang. Ia pun setengah mati
mengejar-ngejar Gito.
"Hei, Dodol, kembaliin baju gue" teriak Lupus.
Gito malah ketawa cekikikan. Kemudian melontarkan baju itu ke arah
Anto. Anto menyambutnya, sebelum akhirnya membawa lari baju itu ke sudut
lapangan.
Lupus makin keki.
"Ayo kejar, Pus" ejek Anto dari kejauhan.
"Hei, kembaliin, dong. Pada ngocol nih" Lupus menjerit setengah putus asa.
Meta, Ita, Utari yang sempet ngeliat Lupus ber'bugil-ria' menjerit
tertahan sambil menutup muka, "Aiiih, syereeeem" Tapi matanya pada
mengintip dari sela-sela jari mereka.
"Bodi apa papan penggilesan, tuh"
"Ih, tega lo. Masa segitu kerennya dibilang papan penggilesan? Bukan dong, itu kan gergaji Hihihi...”
"Badan kok selembar?"
"Yeee, bolehnya pada sirik Biar kurus tapi kan seksi" tangkis Lupus,
sambil kembali mengejar Anto. Diem-diem dia mokal berat telanjang dada
begitu.
Sementara Anto udah mengoper baju ke arah Aji, dan Aji langsung menyembunyikannya di semak-semak.
"Hei, mo' dikemanain baju gue?" tanya Lupus sekonyong-konyong, setelah sadar bahwa bajunya udah gak dipegang Anto lagi.
"Cari aja, ntar juga ketemu."
"Sompret kalian" Lupus terus memaki-maki. Anak-anak malah makin ketawa
riang ngeliat tingkah Lupus yang jadi lucu. Bingung, kayak orang
kebakaran jenggot. Sibuk sendiri nyariin bajunya di antara semak-semak.
Untung ketemu. Tapi pas dipake, mendadak terasa sesuatu yang
menggigit-gigit sekujur badannya, dan...
"Yaaaahh"
Lupus menjerit kesakitan sambil buru-buru melepas kembali bajunya. Ya,
ternyata banyak semut-semut nakal menempel di bajunya.
Lupus makin misuh-misuh sama anak-anak yang tertawa terpingkal-pingkal.
•••
Tapi suasana ceria itu tentu gak terganggu.
hanya karena peristiwa konyol tadi. Buktinya beberapa saat kemudian,
Lupus sudah kembali bergabung dengan anak-anak lainnya yang juga lulus.
Saling menandatangani baju. Ada yang pake spidol, ada yang pake pylox,
dan ada juga yang pake lipstick. Yang pake lipstick, siapa lagi kalo
bukan artis kita Fifi Alone? Tapi, emangnya Fifi lulus? Nah, dia emang
patut dicurigai kalo lulus. Anak yang punya penyakit aphasia alias salah
ngomong melulu itu, nilai-nilai ujiannya kan banyak yang amblas?
Wah-tapi gak tau, deh. Kita gak bisa berkomentar banyak mengenai hal
ini. Soalnya, ada yang bilang Fifi Alone itu nyogok biar bisa lulus. Dia
kan orang kaya. Bapaknya, denger-denger, termasuk konglomerat. Jadi gak
ada yang sulit buat dia.
"Fifi, sini rambut kamu
kita cat biar kayak orang bule," ujar Lupus sambil langsung
menyemprotkan pylox merahnya ke kepala Fifi, srrrttttt
"AAAW" Fifi Alone menjerit tertahan. Tapi sedetik kemudian, sebagian
anak lainnya juga menyemprot dengan warna-warna centil lainnya. Jadilah
warna rambut Fifi Alone berwarna-warni centil.
Lalu
sekejap kemudian, semua anak pun saling menyemprotkan pylox ke rambut
dan baju teman-temannya. Semua kena, semua pasrah. Rasanya begitu bebas,
lepas, dari beban kurikulum yang selama ini mengimpit. Beban
aturan-aturan sekolah yang menjemukan; gak boleh ngeluarin baju seragam,
gak boleh bawa makanan ke dalam kelas, gak boleh melompat pagar, gak
boleh bermain voli di dalam kelas, gak boleh tidur saat guru
menerangkan, gak boleh nyontek saat ulangan, gak boleh mengganti baju
olahraga di depan kelas, gak boleh mencorat-coret dinding, gak boleh
masuk ke kamar kecil cewek bagi cowok-cowoknya, gak boleh menyanyikan
lagu Guns n' Roses saat upacara bendera, dan seabrek peraturan lainnya.
Makanya hari ini, hari hancurnya belenggu itu, dirayakan semeriah
mungkin oleh anak-anak.
Tapi, di mana Boim?
Anak itu tak nampak ikut bersenang-senang dengan Lupus dan kawan-kawannya. Apa dia gak lulus?
Ya, wajar juga sih kalo tu 'anak' kagak lulus. Waktu ujian aja, dia
yang paling sibuk banget nyari bocoran dan contekan dari temen-temennya.
Pernah sekali dikerjain sama Lupus. Pas ujian fisika, baru sepuluh
menit berlangsung, wajah Boim sudah nampak pasrah. Ia bersuit-suit
memanggil Lupus yang duduk gak jauh dari dia. "Pus, tulisin gue nomor
satu, dong" desah Boim.
"Berapa? Nomor satu?"
Boim mengangguk penuh harap-harap cemas.
"0, itu sih gampang," tulis Lupus sambil menulis sesuatu di secarik
kertas. Gak berapa lama, kertas itu langsung ditimpukkan ke arah Boim.
Tepat kena idungnya. Boim serta-merta memungut, dan membuka dengan
perlahan. Tapi betapa bengongnya ia ketika tau yang tertulis di situ
cuma angka 'satu' aja.
"Pus, kok yang ada cuma tulisan angka 'satu' aja? Mana jawaban soalnya?" Boim protes.
"Lho, elo kan tadi cuma minta ditulisin nomor 'satu' aja. Itu apa bukan angka 'satu' yang gue tulis?"
Boim bengong.
Makanya anak-anak curiga kalo Boim itu gak lulus.
Tapi, apa iya?
Ya, kita liat aja. Ternyata sejak pagi tadi, si Boim udah menghadap Ibu
Biologi yang jadi wali kelasnya. Ia memang dipanggil, karena ada
tanda-tanda gak lulus.
Boim jelas panik. Dengan akal
kadalnya, ia berusaha meyakinkan Ibu Biologi, "Wah, gawat deh, Bu, kalo
saya sampe gak lulus. Gawat. Ngeri. Syerem. Seru. Tegang."
"Apanya yang gawat?" tanya Ibu Biologi acuh tak acuh sambil membenahi kertas-kertas ijazah yang baru ia periksa.
"Anu, Bu. Kalo saya gak lulus, orangtua saya bisa setep. Soalnya
sayalah satu-satunya yang diharapkan bisa gak mengikuti jejak Babe yang
jadi tukang ketupat, Bu. Mereka ngarepin betul saya jadi dokter, Bu.
Lha, gimana saya bisa jadi dokter kalo lulus SMA aja enggak? Tolong,
deh, Bu. Mau kan, Bu? Mau deh...," bujuk Boim.
Ibu
Biologi jadi kesel juga digerundelin Boim kayak gitu. "Kamu ini
apa-apaan, sih. Makanya kalo di sekolah itu belajar yang rajin. Jangan
main melulu" bentak Ibu Biologi hilang kesabarannya.
"Ya, Ibu. Masa ngelulusin saya aja gak mau. Lulusin, deh" Boim pantang'menyerah.
"Lulus dengkulmu" akhirnya ia gak tahan juga menghadapi anak gokil yang
satu ini. "Sana urus sama Pak Jumadi Ibu ada perlu dengan Bapak Kepala
Sekolah...." Serta-merta Ibu Biologi meninggalkan Boim.
Tinggal Boim melongo sendirian. Tapi dasar tu' anak muka badak, ia pun
melanjutkan serangan ke Pak Jumadi, guru matematik yang ngomongnya
cempreng banget. Mungkin mau niru-niru pengajar matematika yang di tipi.
"Halo, Pak Jumadi, kawan baik saya. Lagi sibuk, ya? Kok nampaknya serius sekali," sapa Boim memasang muka ramah.
"Udah, langsung aja bilang apa maumu. Tak usah merayu," ketus jawaban Pak Jumadi.
"Aduh, Bapak jangan galak begitu, dong. Saya cuma mau tanya, apa saya lulus?"
"Kamu Boim, kan?"
"Iya. Gimana? Lulus?"
"Kamu gak usah khawatir...," suara Pak Jumadi me1embut.
"Jadi, maksud Bapak saya lulus?" Mata Boim berbinar. "Cihuuui"
"Lulus congormu Maksud Bapak, selama guru-guru di sini belon pada gila, pokoknya kamu jangan khawatir lulus, deh"
"Aduh, jelasnya gimana, Pak?"
"Lha, kamu sendiri kan tau guru-guru di sini belum pada gila......
"Jadi... saya..." Boim ragu-ragu ngomong.
"Nggak lulus" serobot Pak Jumadi.
"Aduh, Maaak, mati gue Mati saya, Pak Jumadi. Wah, Pak Jumadi tega
bener. Masa saya gak lulus, sih? Kasihan saya dong, Pak. Lulusin saya,
dong. Aduh, Bapak ini gimana, sih?" Boim jadi ribut bener.
"Tak bisa. Soalnya nilai kamu tak mendukung, sih"
"Tapi kalo saya gak lulus, Bapak tau apa yang bakal terjadi?"
"Lho, kenapa dipikirin amat? Itu bukan urusan saya, tho?"
"Wah, gawat dong kalo begitu...."
"Gawat buat situ, kan? Buat saya tidak."
Mendengar Pak Jumadi berkata begitu, Boim kontan menangis
menggerung-gerung. Tinggal Pak Jumadi yang ganti kelimpungan
menenangkan.
"Ada apa ini?" Ibu Biologi yang telah kembali dari kantor Kep-sek tergopoh-gopoh menghampiri.
"Ini, Bu, Boim kesurupan."
"Sudahlah, Boim. Ibu dan Bapak Kepala Sekolah sudah memutuskan, kamu
lulus. Tapi lulus percobaan. Nanti kalo di perguruan tinggi kamu tetap
malu-maluin, saya bakal tarik kamu ke SMA lagi," putus Ibu Biologi.
"Ha?" Boim menyeka air mata buayanya. "Jadi saya lulus?"
"Iya. Tapi katrolan."
"Cihuuuiii" Boim melonjak kegirangan. Lalu berlarian keluar. Berbaur dengan teman-temannya yang lain.
Sebuah semprotan pylox hitam mampir ke mukanya, langsung menyambut kehadiran Boim di lapangan.
Sang Kep-sek yang ikut memantau kegiatan anak-anak dari balik jendela
kantornya bergumam sambil menggeleng-gelengkan kepala, "Seperti
hancurnya tembok Berlin di Jerman"
"Betul, Pak. Tepatnya, sekolah kita lama-lama bakal ikut ancur juga" komentar Guru Kesenian yang ikut mendampingi Kep-sek.
Tiba-tiba terdengar suara sirene meraung-raung.
"Apa itu, Pak?" Kep-sek menatap Guru Kesenian. Guru Kesenian ganti menatap Kep-sek.
Mereka berdua saling tatap-menatap.
"Seperti suara mobil pemadam kebakaran"
"Apa yang terbakar?"
"Jangan-jangan sekolah kita"
"Mari kita keluar" Kep-sek panik berlarian keluar. Ia hanya sempat
menyelamatkan naskah pidatonya yang baru disiapkan di meja tugas.
Pas sampe di luar, mereka berdua bengong melihat mobil pemadam
kebakaran itu parkir di halaman sekolah, sibuk mengguyur anak-anak yang
kegirangan. Ya, ternyata anak-anak itulah yang menyewa mobil pemadam
kebakaran buat memeriahkan suasana.
Tapi, satu lagi teman Lupus yang dari tadi belum kelihatan. Gusur. Ya, di mana anak itu?
Asal kamu tau aja, ternyata seniman sableng itu emang bener-bener
sableng. Waktu pengumuman ujian ini berlangsung, dia malah asyik ikut
mancing sama engkongnya di pantai. Cuek pada situasi. Pasalnya tadi
pagi-pagi sekali dia udah dibangunin engkongnya untuk pergi mancing. Dan
karena dua keturunan itu emang hobi banget mancing, ya mau aja.
Dan dia gak tau kalo ternyata dialah satu-satunya siswa SMA Merah Putih
yang gak lulus. Abis gimana mau lulus, waktu yang lain pada ujian aja
dia malah ikut engkongnya pulang kampung ke Solo. Lengkaplah sudah
kesalahannya.
Eh, tapi jangan mikirin Gusur dulu,
kita liat aja Kep-sek yang dari tadi sibuk menenangkan murid-muridnya
yang masih dalam luapan emosi gembira. "Perhatian Perhatian" Kep-sek
bersuara lewat mimbar melalui mikropon.
Anak-anak
tetap berisik. Lupus malah lagi sibuk menandatangani baju anak-anak
cewek yang berdiri berjejer sambil bergandengan tangan.
"Hoi Perhatian Perhatian" Kep-sek berteriak lagi.
Anak-anak menoleh. "Eh, ngapain tuh Kep-sek?"
"Mau pidato, kali. Kita dengerin, yuk. Kasihan. Ini kan pidato terakhir dari dia yang bakal kita denger."
Ya, Kep-sek emang hobi banget pidato. Dan dan tadi pagi dia udah ngebela-belain bikin konsep yang ia tulis di secarik kertas.
Anak-anak mulai merubung, hendak mendengar.
Kep-sek tersenyum puas memandang mereka. Dan langsung membacakan pidatonya
"Terus terang, terus gelap...
"Bapak ucapkan selamat dengan tulus kepada yang lulus. Semoga jalan ke depan makin mulus, dan kalian dapat nilai plus.
"Dan Bapak sih setuju-setuju saja kalian merayakan kegembiraan seperti
ini. Ini memang sudah menjadi tradisi di setiap tahun. Tapi diharap
setiap murid harus kontrol diri. Karena ada perintah dari PDK bahwa
sebetulnya kalian tak boleh merayakan aksi gila-gilaan seperti ini,
supaya tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
"Karena terus-terang, sebetulnya kalian harus bersedih lepas dari SMA.
Karena kata orang, masa SMA adalah masa yang paling indah. Karena jalan
yang bakal kalian lalui setelah lulus SMA akan semakin sulit dan
berbelit serta bisa bikin mata bintit karena hobinya ngintip.
"Banyak lulusan SMA yang tak tau harus meneruskan ke mana. Mau ke
Perguruan Tinggi Negeri, tes masuk bersaing ketat. Mau ke Perguruan
Tinggi Swasta, biayanya terlalu mencekik. Mau langsung kerja, zaman
sekarang dengan modal ijazah SMA, apa yang bisa diharapkan?
"Bukan. Bukannya Bapak mau mengurangi rasa gembira kalian dengan
membeberkan fakta ini. Hanya perlu diingat bahwa kalian justru baru
mulai masuk ke dunia yang sesungguhnya. yang.....
Dor Dor Dor
Tiba-tiba keheningan dipecahkan oleh suara petasan yang disulut oleh
anak-anak A3. Semua kaget, terutama Kep-sek. Dan akhirnya suasana
kembali rame. Murid-murid seperti tersadar kembali, ngapain sih dengerin
pidato di saat hura-hura begini?
"Ah, pidatonya gak
seru. Kita konvoi keliling Jakarta aja, yuk?" ajak Gito. Anak-anak lain
pun kontan setuju. Mereka berlarian ke mobil-mobil yang emang udah
disiapkan untuk konvoi.
"Hoii, pada mau ke mana? Pidato saya belum selesai. Tinggal beberapa bab lagi" teriakan Kep-sek tak digubris.
Akhirnya dengan bak terbuka dan CJ-7 yang kapnya juga dibuka, mereka mulai konvoi keliling kota dengan dandanan ala punk.
Cewek-cewek ikut di mobil sedan yang nguntit di belakang. Wah, seru.
Setiap ketemu anak-anak dari sekolah lain, mereka saling berteriak dan
ber-toast.
"HOOII, SELAMAT LULUS, YA?"
0 komentar:
Posting Komentar
Tolong jangan memberikan komentar yang menusuk di hati lalu tembus di jantung admin